Sabtu, 26 Maret 2011

Politik di Masa Mudaku

Saya masih ingat betul, dulu.., di waktu saya masih menjadi anak SD, masih duduk di kelas empat, pada umur kira-kira 11 tahun, dan pada tahun antara 1997-1998, saya sudah berperan aktif di dalam duia perpolitikan di Indonesia, padahal umur saya waktu itu belumlah sah secara konstitusional untuk mengemban hak dan kewajiban politik seorang warga negara,. Akan tetapi karena ayah dan ibu saya kedua-duanya ditakdirkan menjadi PNS, sebagai abdi negara yang setia, konsekuensi politik dan sosial yang tidak bijaksana yang secara ketat diberlakukan oleh penguasa republik pada masa itu kepada korps abdi negara, ternyata mengimbas juga pada saya. Dahulu kala, pada masa orde baru masih mencengkeram kuat nusantara ini, hak-hak politik WNI mengalamni keterpasungan yang luarbiasa, kemandegan kreatifitas dan inovasi ideologi dibungkam
oleh tafsiran tunggal rezim penguasa atas Pancasila dan UUD 1945.

Saya masih ingat ketika itu, selepas sekolah, kedua orang tua saya pulang lebih cepat dari biasanya, usut punya usut, ternyata kepulangan lebih cepat itu untuk mengikuti sebuah kegiatan “pesta demokrasi” lima tahunan yang disebut pemilu, dalam hal ini kegiatan yang akan dilakukan adalah kampanye,, dan karena pada umur segitu orang tua saya tidak bisa membiarkan saya sendirian di rumah sementara pembantu rumah sudah pulang, dengan sukses, saya pun diajak mengikuti kampaye tersebut, berbalut kaos kuning, ikat kepala, dan bendera berwarna senada, jadilah kami bertiga (waktu itu kakak saya sedang bersama dengan kakek nenek saya di luar kota) berkaliling jalanan kota, bahkan kadang sampai masuk ke desa-desa, berkampanye menunjukkan dukungan politis bagi partai yang sedang berkuasa.. sebuah partai yang menjadi kendaraan politik bagi bapak pemimpin negara waktu itu, bapak pembangunan republic yang kepemimpinannya telah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa, ada perasaan yang nah sebenarnya selama lebih dari 30 tahun itu, tapi sepertinya rakyat diam saja terhadap hal ini,, entah karena memang merasa nyaman, ataukah karena ketakutan akan masa silam yang kelam.. entahlah, saya masih terlalu kecil dan lugu waktu itu.
Hari berikutnya, giliran partai politik lainnya yang berkampanye keliling kota. Sebuah partai yang amat identik dengan warna hijau, dan banyak sekali massa berpeci yang menjadi peserta kampanye, rupanya Islam lah yang dikatakan menjadi roh dari pergerakan partai politik satu ini. Hal ini tampak dari berbagai atribut yang dipakai oleh pesertamya, serta lambang agama yang terpasamg pada benderanya, akan tetapi ada hal yang aneh ketika itu, saya ingat betul ketika beberapa orang tertentu yang rupanya didaulat menjadi satgas pada rombongan kampanye, tiba-tiba turun dan berjalan menuju ke tempat di mana bendera-bendera partai politik lainnya dipasang, tanpa tedeng aling-aling, bapak-bapak satgas ini tiba-tiba mencopot dan mematahkan tiang dari bendera-bendera yang tidak bersalah tersebut.. apa yang sebenarnya terjadi? Apakah bapak-bapak itu marah karena warna bendera di pinggir jalan itu tidak sama dengan warna bendera mereka sendiri..?? entahlah. Bukankah islam sendiri mengajarkan bahwa tindakan yang brutal dan kasar seperti itu tidak lah diperbolehkan ??
Kemudian, hari berikutnya lagi, ketika giliran partai yang beratribut merah yang berkampanye, seakan-akan hari itu tidak menjadi hari rakyat untuk berpolitik, sepi.. entah apakah hari tersebut memang diperuntukkan untuk berkampanye ataukah menjadi hari yang netral, hampir-hampir saya berpikiran seperti itu, ketika tiba-tiba, terdengar raungan motor tanda massa kampanye akan datang, tapi anehnya suara yang terdengar amat kecil, tidak seperti hari-hari sebelumnya, ternyata kecilnya suara kampanye itu berbanding lurus dengan jumlah massa yang ada,, Cuma ada sekitar dua puluhan motor saja yang meraung-raung, sedikit massa. Mereka mengacungkan jari mereka yang dibentuk menjadi seperti kepala banteng, sambil tersenyum, saya ikut-ikutan mengacungkan jari yang dibentuk menjadi kepala banteng,, entah apa yang saya pikirkan waktu itu,, saya cuma senyum-senyum saja tanpa mengerti partai apa itu.. apakah partai ini mengalami represi dari pemerintahan waktu itu sehingga massa nya hanya sedikit? Ataukah memang karena rakyat tidak berminat pada ideologi yang diusung oleh partai terkait ?? aku tak tahu..
Kemudian,, beberapa bulan kemudian, ketika saya menginjak remaja, pada awal tahun 1998, berita-berita di televisi menayangkan berita yang buruk, bahwa seantero negeri sedang dilanda chaos, mulai dari aceh yang bergolak di ujung barat, penjarahan yang membabi buta di Jakarta, kerusuhan rasial yang mengerikan di Kalimantan, sampai pada pemberontakan bersenjata di Maluku dan papua.. sepertinya negeri yang kaya ini sedang sakit dan berada di ambang kehancurannya..

zaman kalabendu kalau dalam legenda jawa.. Kemudian datanglah berita mengenai bentrokan antara mahasiswa dengan pihak militer, menyusul kemudian pendudukan besar-besaran oleh mahasiswa atas tempat yang menjadi perlambang kedaulatan rakyat yang diwakilkan sesuai undang-undang negara, gedung DPR di ibukota, kemudian menyusul hari berikutnya, tanggal 21 mei 1998, terjadilah sebuah peristiwa yang mengubah perpolitikan Indonesia secara perlahan-lahan, mundurnya sang bapak presiden republik karena beliau merasa bahwa jika memang rakyat menginginkan perubahan kepemimpinan nasional, maka ia akan memenuhinya..
Sungguh, peristiwa yang berlalu lalang seperti itu di masa kecil saya, tidak sepenuhnya saya mengerti, apalah artinya kampanye mendukung salah satu partai, apabila hal tersebut tidak berasal dari kehendak bebas kita sendiri? Tapi itulah yang terjadi, otoritas yang berkuasa terkadang secara tidak bijaksana memaksakan kehendaknya demi keberlangsungan kekuasaannya, meskipun hal itu membuat rakyat muak dan bosan..
Pepatah mengatakan “bau busuk akhirnya kan tercium juga, walau bagaimanapun engkau menutupinya.” Hal ini dibuktikan dengan kebosanan dan kemuakan rakyat atas kepemimpinan yang tidak ubahnya bagaikan kerajaan ini, generasi muda negeri ini yang tidak lagi ketakutan oleh ingatan kekejaman di masa lalu, mau dengan sadar mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai sebuah tujuan yang bernama “reformasi”.

Pernah suatu masa dalam sejarah, Machiavelli mengatakan kepada para raja dan penguasa bahwa mereka lebih baik ditakuti daripada dihormati, akan tetapi seperti nya saran sang Begawan pragmatism ini tidak akan berjalan mulus apabila rakyat yang ada pada negara itu adalah rakyat yang berpendidikan dan berwawasan, saran Machiavelli itu niscaya hanya akan terwujud apabila dia memimpin di negara yang tertutup dan terepresi secara ketat, baik jiwa, raga, maupun pengetahuannya..