Sabtu, 11 Desember 2010

tentang ke"bangsa"an

"Indonesia Tanah Airku
Tanah Tumpah Darahku
Disanalah Aku Berdiri
Jadi Pandu Ibuku
Indonesia Kebangsaanku
Bangsa Dan Tanah Airku
Marilah Kita Berseru
Indonesia Bersatu…… “ dan seterusnya,

Jujur kawan, ketika masih sekolah dulu saya berkali-kali menyanyikan lagu ini, tepatnya ketika upacara bendera di sekolah setiap hari senin, dan saya menyanyikannya dengan biasa-biasa saja, akan tetapi pernah suatu ketika saya menyanyikan lagu ini dengan sungguh-sungguh, bahkan sampai terharu.. yaitu ketika berada di stadion senayan atau sering juga disebut stadion utama gelora bung karno, entah kenapa ketika menyanyikan lagu ini sebelum pertandingan sepak bola berlangsung rasa-rasanya ada yang beda seolah-olah gelora dari presiden bung karno benar-benar menyeruak di tempa itu, sepertinya kita benar-benar sedang membela kehormatan dan kejayaan bangsa sendiri, semangat yang menggebu-gebu dan kebanggan yang dalam akan suatu bangsa yang namanya Indonesia..
Tentu saja sebagai warga negara Indonesia kita harus bangga akan negara kita sendiri, negara yang merentang dari sabang sampai merauke, dari talaud sampai ke pulau roti (kata iklan sebuah mie instan..) dengan bendera nasional berwarna merah putih dan burung garuda sebagai lambing negara, dengan berate-ratus suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah nusantara, oke,, nah, tapi sebenarnya apakah yang dimaksud dengan sebuah “bangsa” itu ?? ini adalah sebuah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang negarawan prancis bernama ernest renan dalam suatu kuliah di universitas Sorbonne tahun 1882. Renan sendiri kemudian menjelaskan dalam makalahnya “qu’est-ce qu’une nation?”bahwa bangsa adalah “jiwa, suatu asas rohani” yang terbentuk dari kepemilikan kolektif atas suatu kenangan dan kehendak kebersamaan di masa kini, renan menolak bahwa bangsa itu terbentuk atas dasar ras, agama, bahasa, dan aspek geografis, meskipun hal-hal ini adalah aspek yang utama, memang dalam menerikan definisi renan berfokus pada aspek ideologis-idealisme.

Lain Ernest Renan, lain pula dengan Benedict Anderson, dalam karyanya “Imagined Communities: Reflections of the origin and spread of the nationalism” ia mendefinisikan bangsa sebagai sutu komunitas politis dan dibayangkan sebagai suatu yang bersifat terbatas secara inheren dan berkedaulatan. Kata-kata “dibayangkan” dimaksudkan bahwa komunitas ini hanya ada dalam benak masyarakat, akan tetapi bayangan ini bersifat kolektif dan diusahakan identik. Suatu bangsa kemudian akan memiliki idealisme bersama yang disebut sebagai nasionalisme.
Lalu kemudian timbul pertanyaan apakah nasionalisme itu ?? seorang ilmuwan lain bernama Ernest Geller menjelaskan bahwa “prinsip yang menganggap bahwa unit politik dan nasional haruslah sebangun-selaras.”
Berbagai definisi di atas menjelaskan kepada kita mengapa kadang pada suatu waktu kita menjadi begitu cintanya pada negara, dan juga bangga atas apapun yang menjadi symbol atau pengejawantahan dari negara tersebut, karena dalam benak kita, kita sedang membela suatu kesatuan yang dibayangkan secara kolektif, dan sifatnya melebihi persaudaraan yang erat melampaui hubungan kekerabatan dan pertalian darah.. dalam hal inilah tim nasional sepak bola mendapatkan ruh nya, sehingga orang akan berbondong-bondong datang dan mendukung perjuangan beberapa orang yang ditahbiskan sebagai “anak-anak bangsa”.
Definisi-definisi di atas begitu kuat mempengaruhi pemikiran dan perasaan saya sampai ketika saya sebagai seorang muslim mempelajari lebih lanjut akan apa yang ada dalam agama saya, yaitu agama islam :

Dulu saya pernah berpikir bahwa aspek-aspek utama yang memebntuk sebuah negara-bangsa adalah kesamaan bahasa, ras, wilayah geografis, dan kebudayaan. Akan tetapi ternyata aspek-aspek tersebut memang tidak berlaku sacara mutlak sebagaimana yang dijelaskan oleh ilmuwan-ilmuwan di atas. Dan seiring dengan berjalannya waktu, sebagai seorang muslim saya akhirnya mengetahui bahwa konsep bangsa-nasinalisme itu sebenarnya tidak mutlak dan tidak terbatas hanya pada apa yang diajarkan di sekolah-sekolah atau meja kuliah. Ada sebuah fatwa ulama local dalam perang revolusi di Indonesia yang menyatakan bahwa jikalau tetangga muslim kita misalnya, diserang oleh aggressor yang semena-mena dan zholim, maka kita harus membantu tetangga kita tersebut, adapun hukumnya bagi tiap-tiap individu tergantung dari besaran jarak individu tersebut dari wilayah konflik, hukumnya menjadi wajib bila jaraknya dekat dengan konflik. Maka, kemudian saya berpikir bahwa fatwa ulama jawa timur zaman revolusi ini pun harusnya diletakkan pula dalam posisi yang sama dalam skala global internasional. Jika negara tetangga kita Malaysia misalnya diserang habis-habisan oleh Thailand misalnya, maka negara-bangsa Indonesia pun sudah seyogyanya untuk memberikan bantuan. Bantuan ini tentu tidak saja didasari atas sentimen-sentimen kebangsaan belaka, namun oleh sentiment keagaaman yang merupaka salah satu dari aspek berkategori ideologis-religius. Sintesis yang kemudian terbentuk di benak saya adalah suatu rumusan yang berbunyi “ di mana ada wilayah yang di situ berdiri masjid serta dikumandangkan adzan, maka di situ lah tanah air seorang muslim, siapa pun dia”. Sintesis ini kemudian meletakkan aspek keagaamaan sebagai salah satu aspek penting pembentuk persaudaraan negara bangsa, melebihi aspek-aspek tradisionla lain seperti ras, bahasa, adat-istiadat, maupun wilayah geografis.
Saya tidak tahu apakah aspek ideologis keagamaan ini diabaikan atau tidak oleh para negarawan perumus di atas, karena dengan adanya kesamaan ideologi agama ini bisa terbentuk suatu komunitas yang hampir ciri-cirinya menyamai sebuah “bangsa” serta yang sifatnya melampau batas-batas wilayah geografis. Oh, sudahlah saya bukan lah orang yang ahli dalam masalah filsafat seperti ini, saya hanya sebatas menyampaikan uneg-uneg yang ada dalam hati saja.. oke tetap dukung timnas Indonesia di mana saja ia berlaga, akan tetapi tetap dalam batas yang wajar karena sebenarnya kita semua ini adalah bersaudara.. ^^v